ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK NOVEL
“ Kunang-kunang Tanpa
Cahaya – Asya Mujahidah ”
Disusun Oleh :
Elvira N. Annisa
Keke Indriani
Lulu Isania S
Sherly Oktaviani
IDENTITAS BUKU
Judul buku :
Kunang-Kunang Tanpa Cahaya
Penulis :
Asya Mujahidah
Penerbit :
Al Azhar Fresh Zone Publishing
Cetakan :
Cetakan pertama, September 2011
Tebal :
352 halaman
SINOPSIS
Ketika kunang-kunang tak memiliki cahaya, ia hanya terbang
sendiri, meraba-raba dalam gelap, tak dapat ia temukan kawanannya, sebab
pijarnya telah lenyap. Bukan, bukan matahari yang ia inginkan, tapi hanya
sedikit pendar cahaya tubuhnya untuk dapat kembali hidup sebagaimana mestinya,
dan kembali bersama kawanannya terbang indah menerangi gelap malam.
***
Kunang-kunang Tanpa Cahaya merupakan novel inspiratif karya
Asya Mujahidah yang mengajak kita kembali bertanya dan berpikir mengenai
kehidupan. Ada tiga pertanyaan mendasar yang harus bisa dijawab oleh setiap
makhluk di dunia ini yang bernama manusia. Yaitu darimana berasal, untuk apa
hidup di dunia, dan mau kemana setelah kehidupan di dunia. Ketiga pertanyaan
ini harus bisa dijawab oleh seluruh manusia karena bila tidak bisa menjawabnya
sudah bisa dipastikan hidupnya akan tersesat. Bagaimana tidak tersesat untuk
hidup saja tidak punya tujuan. Layaknya kunang-kunang tanpa cahaya yang
meraba-raba dalam gelap. Asya Mujahidah mampu menyajikannya secara apik dan
gamblang mengenai proses pencarian jawaban mengenai kehidupan tersebut. Pembaca
digiring untuk benar-benar memahami seperti apa seharusnya jawaban kaum
muslimin terhadap ketiga pertanyaan tersebut walaupun terkadang terjadi
penumpukan penjelasan yang terlalu panjang dan kesannya agak buru-buru.
Erlinda, seorang gadis tanggung yang sedari kecil
mendapatkan cap sebagai “anak haram”. Kerap mendapatkan ejekan dan cemoohan
dari masyarakat dan teman-teman sekolahnya karena dia terlahir dari pasangan
yang tidak mempunyai ikatan sah pernikahan. Tumbuh menjadi gadis yang cool,
cuek, gemar menyendiri, dan terkesan egois. Di kepalanya seakan ada benang
ruwet yang sulur-sulurnya acak dan tidak jelas mengarah kemana. Apalagi sejak
Erlinda dekat dengan Pak Baidlowi, guru agama yang kerap memberikan nasehat dan
menganggap Erlinda seperti anaknya sendiri. Bermula ketika Pak Baidlowi
memberikan PR kepada siswanya untuk menjawab tiga pertanyaan. “Pertanyaannya
adalah… Pertama, kalian datang dari mana? Kedua, kalian mau ke mana? Dan
ketiga, kalian mau apa?”. Itu pertanyaan yang disodorkan Pak Baidlowi kepada
siswanya. Kesannya sederhana tapi ternyata bukan sesuatu yang gampang untuk
menjawabnya. Butuh perenungan selama bertahun-tahun. Setidaknya itu yang
dialami Erlinda.
“Gue… siapa?”. Erlinda mempertanyakan dirinya sendiri.
Apakah benar dirinya anak haram? Apakah benar anak yang terlahir tanpa ikatan
suci pernikahan pantas menyandang gelar sebagai anak haram? Bukankah yang haram
itu perbuatan orang tuanya? Bukankah setiap bayi itu terlahir suci? Sebegitu
pentingnyakah yang namanya pernikahan itu?
“Apa tujuan hidup Gue?”. “Apakah sekedar makan, minum,
seneng-seneng, lalu dewasa dan tua? Mengejar cita-cita dan karir? Menikah atau
malah kumpul kebo buat memperbanyak keturunan? Tanpa aturan?”
“Kemudian mati, pergi ke mana? Apa bener surga neraka itu
ada? Nanti kita masuk ke mana?”. Pertanyaan itu saling berkelebat di kepala
Erlinda. Berharap segera mendapatkan jawaban. Karena ingin mendapatkan jawaban
atas ketiga pertanyaan itulah Erlinda memutuskan untuk menghilang dari
kehidupan sebelumnya. Berusaha mendapatkan kehidupan baru yang lebih baik.
Di titik inilah perubahan kehidupan Erlinda bertolak.
Bertemu dengan empat preman cemen –begitu Erlinda menyebut mereka- di stasiun
dan Ida si jilbaber cerewet yang ternyata adalah sepupunya sendiri. Dari Idalah
Erlinda menemukan cahaya itu, hakikat kehidupan. Berulang kali melihat dengan
mata kepala sendiri sakaratul maut menjemput sahabat, kakek, dan Ibunya semakin
membuat dirinya yakin bahwa setelah kematian itu ada kehidupan.
Penulis mengajak pembaca setahap demi setahap mengikuti
perubahan Erlinda. Namun terkadang ada kejanggalan dengan kehadiran sosok yang
bernama Ida. Penjelasan yang terlalu panjang tentang hal-hal yang terkait dengan
Islam bisa membuat bosan para pembaca walaupun memang di novel tersebut
disebutkan bahwa Ida sangat cerewet. Yang agak janggal lagi adalah perilaku Ida
terhadap Erlinda yang terkesan berlebihan dalam menunjukkan rasa sayangnya.
Tapi mungkin memang dari sinilah penulis menunjukkan betapa berartinya sebuah
persahabatan. Sebuah persahabatan yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Latar dari tiga kota yang berbeda yaitu Bekasi, Depok, dan
Serang disajikan secara detail oleh penulis sehingga benar-benar membangun
imajinasi dari para pembaca. Pembaca seolah-olah berada di tiga kota tersebut.
Walaupun ada satu bagian novel yang agak mengganggu karena penulis terlalu detail dalam menjelaskan
narasi tempat dan latar belakang sejarahnya. Yaitu ketika Erlinda diajak
keliling kota Serang oleh Ida.
Secara keseluruhan novel ini recommended untuk para remaja
yang memang sedang mencari jati dirinya. Para remaja yang mengharapkan adanya
setitik cahaya yang bisa menerangi
kehidupan dari gelapnya dunia. Karena dalam novel ini penulis menuntun
para pembaca selangkah demi selangkah
untuk memahami hakikat kehidupan tanpa ada kesan menggurui. Dan yang
patut diacungi jempol adalah kepiawaian penulis dalam menuliskan puisi yang
tersaji dalam tiap babnya. Pembaca dibuat terpukau menikmati keindahan
kata-kata yang mengalir dalam setiap bait puisi tersebut.
***
Satu hal yang Erlin yakini, bahwa kunang-kunang masih akan
selalu bercahaya. Itulah mengapa ia ditakdirkan hidup dalam kegelapan.
A. UNSUR INTERINSIK
·
Tema :
Kehidupan dan Keagamaan
Kutipan : “begitu terbuka papanya bercerita kalau ia dan
mama hidup bersama tanp ikatan pernikahan” (Hal 21)
“Apa kata masyarakat kalau tahu kamu pacaran dengan pria yang beda agama
denganmu!” (Hal 84)
·
Tokoh :
1.
Erlinda
2.
Fahriyah
3.
Evan
4.
Topan
5.
farida
6.
Meru
7.
Rancap
8.
Pahat
9.
Ibeng
10.
Pak baidlowi
·
Penokohan
1.
Erlinda
·
Kasar
Kutipan : “Erlinda, nama gadis yang menjambak rambut Anne
itu lalu mengambil tempat sampah Yang penuh kertas dan plastik ia tumpahkan ke
kepala Anne” (Hal 13)
·
Rasa ingin tahu yang tinggi
Kutipan : “Lalu bagaimana dengan non muslim yang juga
berbuat baik, sama-sama menyembah Tuhan, bukankah tujuannya sama? Hanya caranya
saja yang berbeda? Apakah agama mereka tidak diridhai? Pertanyaan terus
menggelayuti Benaknya” (Hal 15)
·
Dingin dan galak
Kutipan : “Ia hanya tak suka pada sikap Erlin yang
Menurutnya galak, sok cool, dingin dan tak ramah” (Hal 17)
·
Tegar
Kutipan : “Biasanya dia sangat kuat walaupun dihina
sedemikian rupa” (Hal 20)
·
Periang dan penyayang
Kutipan : “Padahal semasa kecil, Erlin sangat periang dan
sayang pada mamanya” (Hal 24)
·
Nekat
Kutipan : “Setelah lulus SMA, ia benar-benar pergi dari
rumah tanpa surat perpisahan” (Hal 38)
·
Pemberani
Kutipan : “Seseorang mencoba menarik tangannya, namun dengan
sigap Erlin menangkisnya lalu membalas menyerang mereka” (Hal 41)
2.
Fahriyah
·
Tidak teguh pendirian
Kutipan : “Ria belum mempunyai tameng yang kuat untuk
menjaga dirinya dari pengaruh buruk teman-temannya. Ia mudahlah goyah” (Hal 91)
3.
Evan
·
Playboy
Kutipan : “Evan sendiri sebenarnya adalah seorang playboy
yang sering gonta ganti pacar” (Hal 93)
4.
Topan
·
Menepati janji
Kutipan : “Topan inget janji sama kakak kalo mama gak boleh
tahu keberadaan kakak” (Hal 229)
5.
Farida
·
Cerewet
Kutipan : “… Sementara ida terus bercerita tentang
dirinya”(Hal67)
6.
Meru
·
Bijaksana
Kutipan : “Meru sebagai ketua geng memang palin sedikit
bijaksana” (Hal 137)
7.
Rancap
·
Hemophobia
Kutipan : “Rancap menjauh, ia paling trauma melihat darah”
(Hal 141)
8.
Pahat
·
Periang dan optimis
Kutipan : “Ia tipikal pemuda yang periang. Pahat lebih bisa
optimis dalam menjalani hidupnya”(Hal 48)
9.
Ibeng
·
Menyebalkan
Kutipan : “Biar bagaimanapun, Ibeng adalah kawannya.
Walaupun sikapnya menyebalkan” (Hal 136)
·
Cepat marah dan Susah diatur
Kutipan : “… Ketika berhadapan dengan Ibeng yang lekas
marah, gegabah dan susah diatur”
10.
Pak baidlowi
·
Sabar dan Baik Hati
Kutipan : “Erlinda sering menceritakan masalah keluarganya
kepada guru yang sabar dan baik hati itu” (Hal 14)
·
Alur
Alur dalam novel “Kunang-kunang Tanpa Cahaya”, yaitu Alur
Maju Mundur. Hal ini dibuktikan oleh beberapa kutipan sebagai berikut :
1.
Mundur
Kutipan : “Dua puluh tahun yang lalu…
Kerika masih Aliyah dan pergaulannya haya sekitar pondok
mengaji, menghafal dansebagainya” (Hal 91)
2.
Maju
Kutipan : “Dua puluh tahun kita bersama tanpa ikatan, dank
au setia mendampingiku” (Hal 346)
·
Latar
1.
Tempat
·
Kost-kostan
Kutipan : “Namun kini ia senang karena Erlinsudah bersedia
kost-kostannya” (Hal 114)
·
Stasiun
Kutipan : “Ida telah memetakan kehidupan anak-anak jalanan
di sekitar stasiun, sepanjang kota sampai depok” (Hal 124)
·
Rumah (di kamar)
Kutipan : “Ia keluar dari kamar yang pintunya banyak coretan
kekesalan berupa bang**t” (Hal 10)
·
Pendopo masjid UI
Kutipan : “Malamnya kembali mereka berdua di pendopo masjid
UI” (Hal 162)
·
Rumah sakit
Kutipan : “Erlin tak tega melihat Ibeng yang sedari tadi
kesulitn bernafs dibalik selang” (Hal 148)
2.
Waktu
·
Siang
Kutipan : “mereka tertawa bersama, tak menghiraukan udara
siang itu sungguh panas”
·
Malam
Kutipan : “Asal saja ia tidur malam itu, menghitung jumlah bintang
yang menatapnya” (Hal 133)
3.
Suasana
·
Mengharukan
Kutipan : “Suara Mamanya Terdengar Memilukan. Erlinda segera
menghambur ketempat tidur mamanya” (Hal 228)
·
Menyedihkan
Kutipan : “Rancap yang berteriak memanggil-mnggil nama Ibeng
serta Pahat yang menitikkan air mata” (Hal 146)
·
Menegangkan
Kutipan : “Ia pukulkan ke kepala seseorang yang telah
membunuh Ibeng. Teriakkan menggema. Darah muncrat keributan tercipta” (Hal 174)
·
Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan
pengarang dalam novel tersebut yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal
ini dibuktikan oleh pengarang yang selalu menyebut nama tokoh-tokoh pemeran
dalam novel tersebut, dimana seakan-akan pengarang begitu mengerti perasaan
yang dialami tokoh dalam cerita.
Kutipan : “Beri aku
petunjuk jalan… gumamnya. Erlin yang merasa seumur hidup tidak punya teman
itu merasa kangen juga pada teman sekolahnya yang katanya melanjutkan ke UI” (Hal 50)
·
Gaya Bahasa
1.
Personifikasi
Kutipan : “Remuk bersama nafas yang berkejaran” (Hal 89)
2.
Metafora
Kutipan : “ Erlinda. Baginya Erlin adalah cahaya matanya”
(Hal 76)
·
Amanat
Amanat yang dapat diambil dari novel “Kunang-Kunang Tanpa
Cahaya” yaitu mengajarkan kita untuk selalu teguh pendirian. Terutama dalam hal
yang menyangkut agama, harus lebih memperkuat agama dan keyakinan diri sendiri.
Serta mengingatkan kita untuk tidak salah melangkah dalam memutuskan suatu
perkara agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Novel ini juga memberikan motivasi bahwa dalam setiap
masalah pasti ada jalan keluar yang masih bisa kita usahakan.
B. UNSUR EKSTERINSIK
1.
Latar belakang penulis
Bernama asli Yuni Astuti, lahir di Bantu,l 03 juni 1988. Sebuah
desa yang nyaman dan selalu membuatnya rindu meski tempat tinggalnya kini jauh
di ujung pulau Jawa, yakni Sreang-Banten.
Banginya hidup harus dipenuhi mimpi besar, sehingga itu akan melahirkan upaya besar dan
berujung pada hasil yang tidak sia-sia. Apapun yang dikatakan orang untuk
meruntuhkan mimpi kita, mereka tak akan bisa membunuh mimpi kita karena mimpi
adalah awal dari kehidupan.
Hanya orang-orang besarlah yang berani bermimpi besar. Dan itu
akan beriringan dengan cobaan yang besar pula. Namun kembali, hanya orang-orang
besarlah yang dapat mengatasi cobaan besar.
Yakinlah, sebuah kata dapat mengubah dunia.
2.
Nilai yang Terkandung
·
Religius
Dalam novel ini nilai agama yang terkandung sangat kuat,
karena dalam islam tidak diperbolehkan
pasangan lawan jenis yang bukan mahram tidaak diperbolehkan tinggal dalam satu
rumah.
Kutipan : “Pak Baidlowi juga pernah bilang kalau kumpul kebo
itu gak boleh” (Hal 28)
·
Sosial
Banyak sekali nilai sosial yang tertoreh pada novel ini,
sebagai contoh saling membantu satu sama lain.
Kutipan : “Sesama muslim itu bersaudara. Selama saya masih
bisa membantu semampu saya, Insya Allah saya bantu. (Hal 159)

***

ANALISIS
UNSUR INSTRINSIK DAN EKSTRINSIK NOVEL
“Parvana 1 Sang Pencari Nafkah –
Deborah Ellis”
IDENTITAS BUKU
Judul
Buku : The Breadwinner
Penulis : Deborah Ellis
Penerbit : PT Gramedia, Jakarta.
Tahun
terbit : Cetakan Pertama, Maret 11
Penerjemah : Adzimattinur Siregar
SINOPSIS
Afghanistan,
masa rezim keluargaTaliban. Ibukota Kabul porak poranda akibat perang
berkepanjangan.
Kesewenangan penguasa membuyarkan denyut kehidupan warga. Sekolah
dibubarkan,
segala bentuk hiburan di tiadakan, dan perempuan dilarang keluar rumah sendiri
tanpa
burqa yang mengungkung tubuh.
Parvana
adalah gadis kecil biasa berumur 11 tahun bermasa depan gemilang. Ayahnya
seorang
terdidik lulusan Inggris dan ibunya seorang jurnalis kantor berita ternama.
Namun
hidup
berkata lain, perang memaksa ia menyamar menjadi anak laki-laki, menempuh
bahaya,
dan
mencari nafkah keluarga.
A. UNSUR INTRINSIK
Tema :
Perjuangan gadis kecil Parvana dalam mencari nafkah untuk keluarga saat sang
Ayah
harus
menjadi tawanan para penjajah di Afghanistan.
“
Ambil peralatan tulis Ayahmu dan selimutnya, lalu pergilah ke pasar,” Ibu
memberitahunya. “
Mungkin
kau bisa menghasilkan sedikit uang. Kau telah melihat dia bekerja selama ini …
“ ( Hal
50,
di Halaman 73-77 pekerjaan menggali tulang demi membeli baki )
Alur : Maju
Karena
tak diceritakan menuju ke belakang atau masa lalu.
Latar
:
1. Tempat :
1. Tempat :
○
Pasar Kabul : “ Ia tidak berani mengucapkan keras keras. … . Begitu juga semua
orang
yang berada di Pasar Kabul Ini.” ( Hal pertama, namun hampir banyak
cerita
terjadi di tempat ini)
○
Rumah : “ Ibu Parvana dan Nooria tengah membersihkan rumah ketika mereka
(Ayah
dan Parvana) masuk. “ ( Hal 10, dan banyak juga part yang terjadi disini )
○
Penjara : “ Penjara itu begitu gelap dan mengerikan. “ (Hal 26)
○
Pemakaman : “ “Aku senang karena bisa keluar dari pemakaman, “ ujar Parvana.
“
(Hal 83)
2. Suasana :
○
Kacau : “ … ketika empat tentara Taliban mendobrak masuk. … . Dua dari empat
tentara
itu mencengkeram ayahnya. Dan lainnya mulai menggeledah, menyepak
makan
malam yang tersisa di atas tikar.” ( Hal 18 )
○
Gelisah/Risau : “Parvana tidak bisa tidur. Ia bisa mendengar ibunya dan Nooria
bergerak
gerak dan terus berbalik gelisah sama seperti dia.” Hal 22 dan 23
○
Lega : “Kemudian pada suatu sore, Parvana pulang dari kerja dan melihat dua
orang
dengan lembut membantu ayahnya menaiki tangga … Setidaknya bagian
dari
mimpi buruk itu sudah berakhir” Hal 109.
○
Menyedihkan : ““Aku meninggalkan mereka disana, aku meninggalkan ibu, ayah,
dan
kakakku terbaring dijalanan untuk menjadi makanan anjing.”” Hal 108
3. Waktu :
○
Malam : “Malam begitu gelap, ia tidak bisa membedakan antara jendela dan
dinding”
Hal 23, 28, 31, 49
○
Pagi/Esok : “Keesokannya Parvana sudah bosan tidur terus menerus” Hal 32, 55
○
Siang hari : “... Ia berbisik sambil menatap langit. Matahari bersinar.” Hal 56
Tokoh
dan penokohan
:
1.Parvana :
○
Bertanggung jawab : “Nooria terlihat mengerikan. … Sekarang ia ada
diditanganku,
pikir Parvana.” Hal 34
○
Pemberani : “ “Berhenti memukulku!” bentaknya. Anggota taliban itu begitu
terkejut,
ia terdiam untuk sesaat.” Hal 36
○
Bijak : “ Bu Weera, “Hapus air matamu. … . Aku selalu berpikir kau anak yang
bijak
dan kau baru saja membuktikan aku benar.” “ Hal 37
○
Penurut : “ “Apa kau sedang menunggu hujan turun di dalam rumah sampai
wadah
itu terisi sendiri?. Pergilah!” Parvana pun beranjak.” Hal 39
2. Ayah :
○
Bijaksana : “ Ayah berdebat. “Kita adalah bagian dari Afghanistan. Ini rumah
kita.
Jika
semua irang terpelajar pergi, siapa yang akan membangun kembali negeri
ini?”
3. Ibu
○
Perhatian : “”Apa kau baik baik saja?” Ibu bergegas berjalan ke arahnya. “Dari
mana
saja kau? Mengapa kau tidak pulang untuk makan siang?” Ibu
mencengkeram
bahunya dengan erat.” Hal 80
4. Nooria :
○
Perhatian : “Parvana merasa pusing… ia butuh air secepatnya. … Nooria
merenggut
gelas itu dari tangan nya. Kau memang anak paling bodoh! …
bagaimana
mungkin anak sebodoh kamu bisa menjadi adikku.
5. Tentara Taliban :
○
Bengis, Kasar : “Taliban menatap kearahnya dengan amarah. Tentara itu
mengangkat
tangannya dan memukulkan tongkatnya ke bahu Parvana.” Hal 36
6. Bu Weera :
○
Bertanggungjawab : “Bu Weera?” Nooria berseru. Rasa lega terpancar di
wajahnya.
Akhirnya muncul juga seseorang yang bisa memegang kendali dan
tanggung
jawab dari bahunya.” Hal 38
Sudut
pandang :
Orang pertama serba tahu.
Orang pertama serba tahu.
Gaya
bahasa :
1. Majas Personifikasi : “Parvana melihat lampu lampu sorot mendekat dan menarik
perempuan
itu… “
2. Majas Hiperbola : “Medali Emas itu berkilauan tertimpa cahraya matahari.”
Amanat
:
1. Menanamkan sikap pemberani dalam menjalani kehidupan
2. Senantiasa menyayangi keluarga selagi mereka masih
B. UNSUR EKSTRINSIK
Nilai yang terkandung :
1. Nilai Budaya : “Keluarga mereka makan dengan cara Afghanistan, duduk
mengelilingi
tikar
plastik yang menutupi lantai.” Hal 15
2. Nilai Sosial : “Parvana sangat suka berada dalam pasar. Ia senang memperhatikan
oorang-orang
bergerak sepanjang jalan, mendengar potongan potongan percakapan
yang
sampai di telinganya.” Hal 63
0 komentar:
Posting Komentar